PEMBAHASAN
A.
Konsep
Hukum
Pengertian Hukum Islam
Secara etimologi, kata hukum berarti ”menetapkan sesuatu pada yang lain”, seperti menetapkan mana yang diperintahkan dan mana yang dilarang. Sedangkan secara istilah, seperti yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, hukum adalah titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat. Baik peraturan yang berupa tingkah laku maupun kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Atau peraturan yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.
Oleh karena itu, hukum dalam Islam berarti adanya batasan-batasan yang harus dipatuhi dalam kehidupan. Karena tidak bisa dibayangkan jika tidak ada hukum Islam, maka seseorang akan semaunya melakukan hal yang dia inginkan termasuk perbuatan maksiat.
Konsep Hukum Islam
Hukum Islam disyariatkan Allah kepada manusia menyangkut berbagai macam persoalan. Mereka diharapkan mengikuti hukum Islam tersebut agar mendapat kebahagiaan dalam hidupnya.
Tata kehidupan manusia diatur dengan hukum Allah. Tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan hasanah bagi manusia, baik hasanah di dunia maupun di akhirat. Upaya untuk mewujudkan kebaikan bagi umat manusia adalah melalui ketentuan-ketentuan yang dharuri (primer), haji (sekunder), dan tahsini (tertier).
Ketentuan-ketentuan yang dhrui adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dapat memelihara kepentingan hidup manusia dengan menjaga dan memelihara kemaslahatan mereka. Jika norma-norma tersebut tidak dipatuhi, maka manusia akan dihadapkan pada kesulitan. Secara umum, ketentuan-ketentuan dharuri berupaya untuk memelihara lima hal, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
Sementara ketentuan-ketentuan haji adalah ketentuan-ketentuan yang memberi peluang bagi manusia untuk memperoleh kemudahan-kemudahan dalam keadaan ketika mereka mengalami kesulitan, untuk mewujudkan tujuan-tujuan dharuri.
Sedangkan ketentuan-ketentuan tahsini adalah berbagai ketentuan yang menuntut manusia untuk melaksanakan ketentuan dharuri dengan cara yang lebih baik. Oleh karena itu, ketentuan tahsini berkaitan erat dengan pembinaan akhlak yang baik dan melaksanakan berbagai ketentuan dhrui dengan cara yang paling sempurna.
Hukum Islam adalah hukum yang ditetapkan Allah melalui wahyu-Nya, yang terdapat dalam al-Quran dan dijelaskan Nabi Muhammad Saw melalui Sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis. Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, di mana istilah satu dengan yang lainnya mempunyai persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan. Istilah-istilah yang dimaksud adalah syariat Islam dan fikih Islam. Oleh karena itu, seorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar, mampu membedakan syariat Islam dengan fikih Islam.
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi dua bagian yang besar, yakni ibadah dan muamalah. Hukum Islam sangat luas, bahkan luasnya hukum Islam masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek yang berkembang di masyarakat yang belum dirumuskan (oleh para yuridis Islam) di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, bayi tabung, keluarga berencana, dan bunga bank.
Konsep hukum Islam adalah menegakan keadilan kebersamaan dalam kebaikan. Keadilan dan persamaan merupakan inti membangun hukum itu sendiri. Artinya bahwa penerapan hukum tak pandang bulu, semua sama di dalam hukum.
Hukum merupakan ”panglima” yang menjaga hak dan kewajiban antara warga negara dengan negara yang sebenarnya telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam perjalanan hidupnya.
B.
Sumber
Hukum Islam
Secara
etimologis hukum (Arab) adalah Itsbatu
syai’in ‘ala syai’in (memutuskan suatu perkara berdasarkan suatu aturan.
Secara terminologis adalah peraturan yang dietetapkan (Khitab) Allah untuk
hamba-Nya yang mukallaf. Kata hukum Islam adalah kata yang sepadan dengan kata
“syariah”, yang kemudian disambung dengan kata Islam sehingga menjadi “syariah
Islam”, yaitu hukum Islam.
Syariat Islam secara garis besar
mencakup 3 hal:
1. Ahkam Syar’iyyah I’tiqadiyah
yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan ‘aqida atau keimanan. Petunjuk dan
bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam ghaib yang tidak bisa di jangau
indra manusia.
2. Ahkam Syar’iyyah Khuluqiyah
yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan akhlak. Potensi kebaikan yang ada di
dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya.
3. Ahkam Syar’iyyah ‘Amaliyah,
yaitu hukum-hukum yang berkenaan dengan pelaksanaan (amaliyah) syariah dalam
pengertian khusus. Petunjuk yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah Swt.
Hubungan manusia dengan Allah dan sejenisnya atau lingkungannya.
Pada umumnya ulama
mengajarkan bahwa sumber hukum Islam adalah empat, yaitu al-Qur’an, hadis,
ijma’, dan qiyas. Sementara sebagian ahli berpendapat hanya tiga, yaitu
al-Qur’an, hadis dan ijtihad. Bahkan Sayid Qutub berpendapat bahwa sumber pokok
hanya satu yaitu al-Qur’an. Walaupun berbeda pendapat, dalam kenyataan dapat
titik temu, jika ijma’ dan qiyas dikategorikan sebagai ijtihad.
Perlu diketahui bahwa urutan penyebutan
sumber hukum Islam, menunjukan urutan, kedudukan dan jenjang pengaplikasiannya.
Karena itu, apabila ada masalah pertama di cari dahulu di al-Qur’an, lalu
Sunnah(Hadis) dan Ijtihad. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada perbedaan
prinsip dalam urutan sumber hukum Islam yaitu, al-Qur’an, Sunnah (Hadis) dan
Ijtihad.
1.
Al-Qur’an
Ditinjau dari segi
kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah
bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a
yang artinya membaca.
Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu
surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang
artinya:
“Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17 -75:18 ).
Dr.
Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang
merupakan mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan
dengan mutawatir, membacanya termasukibadah”.
Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an
sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah
firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s.
dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan
mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan
surat Al-Fatihah dan
ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas
sebagaimana dipercayai Muslim,
firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak
dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang
diturunkan kepada umat Nabi Musa AS
atau Kitab Injil yang
diturunkan kepada umat Nabi Isa AS.
Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
membacanya tidak dianggap sebagai ibadah,
seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk
Al-Qur’an.
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa Al-Qur’an itu mempunyai
kriteria-kriteria, antara lain:
a.
Al-Qur’an adalah firman Allah atau
Kalamullah
b.
Al-Qur’an adalah mukjizat (sesuatu yang
tidak dapat ditandingi)
c.
Al-Qur’an disampakan kepada Nabi
Muhammad Saw. Melalui perantara malaikat Jibril. Sementara kita menerima
Al-Qur’an melalui jalan Mutawatir (
wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw. Disampaikan dan di ajarkan kepada
sahabat-sahabatnya dan jaminan keaslian isinya)
d.
Al-Qur’an di awali dengan surah
al-Fatihah dan di akhiri dengan surat an-Nas.
e.
Al-Qur’an diperintahkan untuk di baca
(selain diperlajari dan diamalkan) karena, membaca al-Qur’an merupakan ibadah.
Fungsi al-Qur’an,
antara lain :
a.
Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk
(hudan)
b.
Al-Qur’an berfungsi sebagai penjelas
(tibyan)
c.
Al-Qur’an berfungsi sebagai pembela
(furqon)
Oleh karena al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt dan merupakan
landasan syari’at Islam, maka ada beberapa prinsip mendasar dalam menetapkan
hukum yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu:
a.
Umum
Maksudnya syari’at
Islam mencakup segala aspek kehidupan manusia dan berlaku bagi segenap umat
manusia diseluruh penjuru dunia.
b.
Orisinil dan Abadi
Maksudnya syari’at
Islam benar-benar diturunkan oleh Allah Swt dan tidak tercemar oleh usaha
pemalsuan sampai akhir zaman.
c.
Mudah dan tidak memberatkan
Hal ini sesuai firman
Allah dalam al-Qur’an, surat al-Baqarah: 286, “Allah tidak membebani seseorang
melainkan menurut kemampuannya”.
d.
Keselarasan dan keseimbangan
“Dan carilah apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah
kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi”.
e.
Berproses dan bertahap
Yakni secara
beragsur-angsur dan bertahap tidak secara mendadak. Artinya Al-Qur’an dalam
menetapkan hukum melalui proses dan tahapan untuk mempersiapkan manusia menuju
pelaksanaanya sesuai dengan yang diharapkan dari hukum itu.
Ditinjau dari sumber hukum, posisi al-Qur’an adalah sumber
hukum utama. Sebagai landasan hukum, kedudukan al-Qur’an sebagai sumber pertama
berarti bahwa al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber ajaran Islam. Di
samping sebagai sumber hukum, al-Qur’an juga sebagai penegas di bidang aqidah,
ibadah dan memberi motivasi bagi manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
2.
As-Sunnah atau Al-Hadist
Kata
sunnah, secara etimologi bermakna jalan, tata laku, atau cara bertindak. Jadi
Sunnah Rasul adalah jalan yang lurus dan prilaku Nabi sepanjang hidupnya. Oleh
karena itu perkataan, perbuatan, dan diamnya Nabi disebut sunnah rasul. Selain
istilah sunnah dikenal juga dengan istilah hadis yang berarti berita atau
catatan tentang suatu perkataan, perbuatan, dan perizinan Nabi. Sebagian ulama
membedakan kalau hadis ialah peristiwa yang disadarkan kepada Nabi. Walaupun
hanya mengerjakannya hanya sekali. Sedangkan sunnah adalah suatu yang dilakukan
Nabi secara terus-menerus.
a. Macam-macam sunnah/hadis
1) Ditinjau dari segi bentuknya
· Sunnah Qauliyah, yakni
perkataan Nabi yang beliau sampaikan dalam berbagai kesempatan
· Sunnah Fi’liyah, yakni
perbuatan yang dilakukan Nabi
· Sunnah Taqririyah, yakni
sikap Rasulullah membiarkan perbuatan sahabat yang menunjukkan bahwa beliau
menyetujui atau mengizinkannya.
2) Ditinjau dari segi kualitasnya:
· Shaih, ialah hadis yang
diriwayatkan oleh parawi (orang) yang adil, sempurna hafalannya, sanadnya
bersambung sampai kepada Rasul, dan tidak terdapat keganjilan
· Hasan, ialah hadis yang
diriwayatkan oleh parawi yang adil, kurang sempurna hafalannya , sanadnya
bersambung, tidak terdapat keganjilan.
· Dha’if, ialah hadis yang
diriwayatkan parawi yang lemah (tidak adil), terputus sanadnya, mempunyai cacat
atau kehilangan salah satu syarat hadis hasan.
3) Ditinjau dari segi diterima atau ditolak:
· Maqbul, ialah hadis yang
diterima dan dapat dijadikan hujjah atau atau dalil.
· Mardud, ialah hadis yang
ditolak dan tidak boleh dijadikan hujjah atau dalil.
4) Ditinjau dari segi siapa yang berperan terdiri dari:
· Marfu, ialah hadis yang
disadarkan kepada Nabi
· Mauquf, ialah hadis yang
disadarkan kepada para sahabat
· Maqtu, ialah hadis yang
disampaikan kepada tabi’in
5) Ditinjau dari segi jumlah orang yang meriwayatkan:
· Mutawatir, ialah hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang banyak yang tidak terhitung.
· Masyur, ialah hadis yang
diriwayatkan orang banyak, tetapi tidak sebanyak derajat mutawatir.
· Ahad, ialah hadis yang
diriwayatkan oleh satu orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat padanya
sebab-sebab yang menjadikannya ke derajat masyur.
b. Fungsi dan Kedudukan hadis
sebagai sumber hukum
· Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum
yang telah ada di al-Quran
· Memberi penjelasan terhadap
ayat-ayat al-Quran dalam kaitan ini berfungsi sebagai penafsir, membatasi atau
mengecualikan.
· Menetapkan hukum yang tidak ada
penjelasannya yang ada di dalam al-Quran
3. Ijtihad
Kata ijtihad dan jihad mempunyai
akar kata yang sama yaitu jahada yang artinya berusaha sekuat tenaga,
bersungguh-sungguh, berusaha keras.. Jihad diartikan sebagai pengerahan
kemampuan maksimal secara fisik sedangkan ijtihad lebih cenderung pada segi
ilimiah.
Secara terminologi ijtihad berarti
mengerahkan segala kemampuan secara maksimal dalam mengungkap kejelasan dan
memahami ayat al-Quran dan sunnah.
a. Perlunya ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum ketiga,
diakui keberadaannya dalam Islam sebagai hasil akal pikiran merupakan sumber
pengembangan nilai-nilai Islam yang berlandaskan al-Quran dan sunnah.
Perlunya ijtihad disepakati para
ulama, karena tak dapat tidak perkembangan pemikiran manusia yang berkembang
sesuai dengantuntutan zaman
b. Ruang lingkup ijtihad
Ijtihad diperlukan untuk menetapkan
suatu ajaran dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang belum
pernah terjadi sebelum zaman Nabi Muhammad Saw. Dan belum ada ketetapan
hukumnya seperti masalah inseminasi, penggantian kelamin, donor mata, dan bayi
tabung. Semua hal tersebut memerlukan ijtihad untuk menetapkan hukumnya.
c. Metode-metode ijtihad
· Ijma
Menurut bahasa artinya, menghimpun,
berkumpul, dan menyusun. Menurut istilah , ijma yaitu kesepakatan pendapat
mujtahid pada suatu masa tentang hukum sesuatu.
· Istihsan
Menurut bahasa menganggap baik suatu
hal (mengutamakan kebaikan atau keadilan). Menurut istilah yaitu menjalankan
keputusan berdasarkan kebaikan untuk kepentingan umum.
· Qiyas
Menurut bahasa artinya adalah
mengukur atau mempersamakan sesuatu dengan yang lain. Menurut istilah yaitu
mempersamakan suatu kejadian/hukum yang belum ada nash mengenai hukumnya.
· Mashlahah Mursalah
Secara bahasa bermakna mendatangkan
kebaikan bersama. Menurut istilah yaitu menetapkan hukum hukum berdasarkan
suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan dengan syara.
· Istishab
Yaitu menetapkan hukum sesuatu
menurut keadaan sebelumnya, sampai ada dalil yang mampu mengubahnya.
· Saddudz Dzari’ah
Melarang sesuatu yang mubah dengan
maksud untuk menghindarkan kemudaratan yang mungkin akan timbul.
· Urf, yaitu menetapkan hukum
sesuatu berdasarkan adat kebiasaan, selama kebiasaan itu tidak bertentangan
dengan Islam.
d. Syarat-syarat mujtahid
Menjadi seorang mujtahid bukanlah
perkara yang mudah, ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dimiliki
dan dikuasai. Berikut ini dikemukakan beberapa syarat antara lain:
1. Mengatahui dan memahami al-Quran
dan hadis dengan baik.
2. Mengatahui bahasa Arab dari
segala segi.
3. Mengatahui dan memahami ilmu usul
fiqh.
4. Mengatahui dan memahami ilmu
nasikh dan mansukh.
5. Mengatahui hukum-hukum yang
ditetapkan dengan ijma.
e. Kebenaran hasil ijtihad
Ijtihad adalah penggunaan akal
pikiran untuk memahami nash yang penunjukan zanny, serta memecahkan masalah
persolan yang tumbuh di masyarakat berdasarkan prinsip dan nilai Islam. Oleh
karena itu hasil ijtihad kebenarannya relatif, karena mencangkup kemampuan
nalar mujtahid.
C. Fungsi
Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Sebagaimana
sudah dikemukakan dalam pembahasan ruang lingkup hukum Islam, bahwa ruang
lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan
benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup
banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan
pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum
yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan
dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
a. Fungsi Ibadah
Fungsi
utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah
ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan
ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum
Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat
manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai
contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya
keterkaitan penetapan hukum (Allah)
dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hokum tidak pernah
mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya.
Riba
atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum
lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hokum tersebut dipatuhi dan
dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat mengetahui bahwa
cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu
riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan
tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan
dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang
hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut
terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol
yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat
disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum
Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
c. Fungsi Zawajir
Fungsi
ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan
ancaman hokum atau sanksi hukum. Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana
terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian ,
perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain
kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum
Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala
bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat
dinamakan dengan Zawajir.
d. Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi
hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan
memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang
harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan
aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang
berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya
hukum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai
dasarnya.
Perinciannya
diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang
masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok
dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah.
Ke empat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja
untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait.
(Ibrahim Hosen, 1996 : 90).
D. Kontribusi
Umat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum
Kontribusi
umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia tampak jelas setelah
Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional oleh Universitas
Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan umat
Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslim dengan
mentaati dan melaksanakan hukum Islam. Kecenderungan ini setelah tahun enam
puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama
Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Departemen
Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia lainnya adalah
maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan perkembangan global
kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu, perkembangan hukum
Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah terhadap hukum agama (hukum Islam) yang dipergunakan sebagai
sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya
dalam Program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia
merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di Indonesia, seperti Hazairin
dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara tentang pengembangan dan
pembaharuan hukum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya
menghendaki fiqih Islam dengan pembentukan fiqih Indonesia (1962), Syafrudin
Prawiranegara (1967) mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang
diatur menurut hukum Islam.
Gagasan
ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat Indonesia (BMI)
tahun 1992 yang beroperasi menurut prinsip-prinsip hokum Islam dalam pinjam
meminjam, jual beli, sewa menyewa dan sebagainya
dengan mengindahkan hukum dan peraturan perbankan yang berlaku di Indonesia.
Kontribusi
umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak
jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Haji.
Dari pembahasan yang sudah
dikemukakan , jelas makin lama makin besar kontribusi umat Islam di Indonesia dalam
perumusan dan penegakan hukum di Indonesia. Adapun upaya yang harus dilakukan
untuk menegakkan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat dan bernegara, memang
harus melalui proses, yakni proses kultural dan dakwah. Apabila Islam sudah
bermasyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Bila perlu,
Law Enforcement dalam penegakan hukum Islam dengan hokum positif, yaitu melalui
perjuangan legislasi. Di dalam Negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, kebebasan mengeluarkan pendapat atau kebebasan berfikir wajib ada.
Kebebasan mengeluarkan pendapat ini diperlukan untuk mengembangkan pemikiran hukum
Islam yang betul-betul teruji, baik dari segi pemahaman maupun dari segi
pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa, umat Islam mempunyai
kewajiban untuk mentaati hukum yang ditetapkan Allah. Masalahnya kemudian,
bagaimanakah sesuatu yang wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut
perundang-undangan. Hal ini jelas diperlukan proses dan waktu untuk
merealisasikannya.
Makalah Agama Islam Kelompok 3
Dosen: Ibu Eva
Annisa (1215121086)
0 komentar:
Posting Komentar